Jakarta, 26 Juli 2025 – Wacana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi di Maluku Utara bukan sekadar kebijakan administratif. Menurut Mochdar Soleman, S.I.P., M.Si., pengajar dan Pengamat Politik Lingkungan Universitas Nasional Jakarta, ini adalah pertarungan simbolik dan struktural atas ruang, kekuasaan, dan sumber daya. Dalam konteks ini, Sherly Tjoanda sebagai pengusaha tambang sekaligus Gubernur Maluku Utara, memegang peran penting dalam isu DOB dan perizinan tambang.
Berdasarkan data publik yang dihimpun Mochdar Soleman, Sherly Tjoanda memiliki saham mayoritas di sejumlah entitas afiliasi seperti PT Karya Wijaya dan PT Bela Cipta Sarana/PT Bela Group Hotel, serta bisnis diversifikasi lainnya. Perusahaan-perusahaan ini mengoperasikan tambang nikel di wilayah Maluku Utara dan terhubung dalam rantai hilirisasi serta ekspor ke Tiongkok dan Korea Selatan.
Mochdar Soleman menarik benang merah dari konflik tambang yang baru-baru ini terjadi di Maluku Utara dan menguatnya isu DOB Sofifi. Ia menilai, dari perspektif Liddle, sosok Sherly Tjoanda memperlihatkan bagaimana modal tambang dan struktur pemerintahan berpotensi saling bersinggungan.
Jika DOB Sofifi direalisasikan dan Sherly Tjoanda tetap menjabat sebagai gubernur, hal ini menegaskan posisinya sebagai salah satu tokoh di Indonesia yang mengendalikan baik otoritas administratif maupun akses ekonomi terhadap tambang.
Situasi ini, menurut Mochdar Soleman, merupakan bentuk nyata dari politik ekstraktif. Isu pemekaran wilayah dapat dilihat sebagai instrumen perluasan korporasi. Pemekaran wilayah, disukai atau tidak, akan membuka peluang reorganisasi tata ruang, perubahan otoritas perizinan, dan pelemahan kontrol masyarakat terhadap aktivitas industri.
Jika dilihat dari kacamata Luigi Graziano (1991), ini disebut sebagai “transformasi oligarkis kebijakan”, di mana kebijakan didorong bukan oleh kebutuhan rakyat, tetapi oleh rasionalitas ekonomi aktor elite sebagai representasi rakyat.
Dengan dibentuknya DOB Sofifi, struktur birokrasi dan tata ruang wilayah akan berubah. Hal ini membuka potensi ekspansi wilayah konsesi tambang, pelepasan hutan, serta relaksasi izin AMDAL di wilayah baru yang secara administratif lepas dari Tidore Kepulauan. “Dengan kata lain, DOB ini bukan hanya pemekaran geografis, tetapi juga pemekaran akses dan kontrol terhadap SDA (Sumber Daya Alam),” jelas Mochdar Soleman.
Oleh karena itu, persoalan ini bukan semata soal kedudukan dalam pemerintahan, melainkan juga perpanjangan tangan ekonomi yang dibungkus legalitas birokrasi. Hal ini disebut sebagai bentuk baru dari penyatuan politik dan bisnis, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Menurut Mochdar Soleman, yang terjadi adalah rakyat kehilangan ruang representasi, sementara perusahaan tambang mendapatkan akses langsung ke instrumen kekuasaan. “Ini adalah bentuk kolonialisme ekonomi yang berjalan di bawah spanduk legalitas,” tegasnya.
Mochdar Soleman merekomendasikan agar proses pemekaran DOB Sofifi dihentikan sementara dan audit konflik kepentingan dilakukan terhadap semua aktor yang terlibat. Ia juga menyerukan pembukaan forum publik partisipatif yang melibatkan masyarakat Oba, Tidore, tokoh adat, dan sipil independen, serta memisahkan kepemilikan korporasi dari posisi politik, agar tata kelola daerah tidak dikuasai oleh pemilik modal.
“Dalam hal ini, posisi Pemerintah Pusat, DPR, dan Kementerian Dalam Negeri harus berhenti menormalisasi relasi antara kekuasaan publik dan kekuatan ekonomi privat dalam satu tangan. Ini bukan demokrasi, tapi replikasi feodalisme modern dalam wajah legal,” pungkas Mochdar Soleman.












