MALUKU BARAT DAYA – Insiden patahnya tongkang milik PT Batutua Tembaga Raya (BTR) / PT Batutua Kharisma Permai (BKP) di perairan Desa Lurang, Pulau Wetar, pada 26 Agustus 2025, masih belum ada kejelasan. Peristiwa ini menenggelamkan sekitar 10.100 ton bijih tembaga dan sebuah ekskavator. Warga pesisir melaporkan air laut berubah menjadi kuning, mengindikasikan adanya dugaan pencemaran.
Alih-alih memberikan klarifikasi resmi, perusahaan justru disebut warga sudah membangun jembatan darurat untuk aktivitas bongkar muat dengan tongkang baru. Hal ini menuai kritik dari Zeth Oskar Faumasa, anggota DPRD Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD).
“Tongkang yang katanya berfasilitas memadai saja bisa patah hingga mencemari laut, apalagi kini ada aktivitas bongkar muat di lokasi darurat. Sampai sekarang publik tidak dapat informasi jelas, ini bentuk abai terhadap masyarakat terdampak,” tegas Zeth.
Zeth mendesak perusahaan dan pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret, yaitu:
- Publikasikan hasil investigasi teknis penyebab patahnya tongkang.
- Umumkan kajian kualitas air laut sebelum dan sesudah insiden.
- Libatkan pemerintah daerah dalam pengawasan proses pemulihan lingkungan.
- Berikan kompensasi dan perlindungan bagi warga pesisir, khususnya nelayan yang terdampak.
Menurut Zeth, perusahaan wajib melakukan pemulihan lingkungan dan memberikan informasi terbuka sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Ia juga menegaskan bahwa jika kewajiban ini tidak dipenuhi, DPRD MBD akan mendorong langkah hukum dan politik demi memastikan kepentingan masyarakat dan lingkungan diutamakan di atas kepentingan korporasi.
“Warga Wetar berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sejauh mana laut mereka tercemar, dan apa langkah nyata perusahaan,” pungkas Zeth.












