JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi sorotan serius dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenham). Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR dan Komnas HAM pada Senin (22/9/2025), Kemenham menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan terhadap proses penangkapan yang diatur dalam draf RUU.
Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, mengusulkan agar setiap penangkapan dan penahanan harus memperoleh persetujuan dari hakim. Ia menilai, langkah ini krusial untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
“Pasal 17 Rancangan KUHAP hanya mensyaratkan penangkapan didasarkan pada cukup alasan, tanpa standar yang jelas. Hal ini dinilai terlalu umum,” jelas Mugiyanto.
Ia menambahkan, Kemenham merekomendasikan agar draf tersebut memperjelas kategori bukti permulaan yang sahih. Selain itu, ia juga mengusulkan agar penyidik melakukan pencatatan rinci dan meminta pengesahan hakim paling lambat 2×24 jam, sesuai prinsip habeas corpus yang diatur dalam standar HAM internasional.
Menanggapi usulan tersebut, anggota Komisi III DPR, Benny Utama, memaparkan tantangan di lapangan. “Kendala utama terletak pada keterbatasan jumlah hakim, terutama di Pengadilan Negeri yang sering kali melayani dua hingga tiga kabupaten,” ungkapnya.
Menurut Benny, kondisi ini membuat hakim kewalahan untuk memutus sah atau tidaknya penangkapan dalam tenggat waktu 2×24 jam. “Dalam praktik, terdapat keterbatasan sumber daya dan waktu yang sangat sempit bagi hakim,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebutkan bahwa selama periode Januari 2023 hingga Desember 2024, Kepolisian, Lembaga Peradilan, dan Kejaksaan menjadi tiga pihak yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM.












