Jombang, 27 Juli 2025 – Jombang, sebuah kota kecil yang memegang denyut nadi peradaban Indonesia, menjadi titik temu dua arus besar yang membentuk wajah bangsa: agama dan nasionalisme. Dari bumi ini, lahir dua tokoh sentral yang mewakili “ijo” dan “abang”, dua warna yang tampak kontras namun saling melengkapi.
“Ijo”, simbol pesantren, terwujud dalam sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden keempat Republik Indonesia. Dari lingkungan Pesantren Tebuireng, Gus Dur tumbuh sebagai representasi Islam yang ramah, inklusif, dan penuh kebijaksanaan. Warna ijo bukan hanya jubah santri, melainkan juga lambang kedalaman spiritual, toleransi, dan semangat persaudaraan antarsesama anak bangsa.
Di sisi lain, “Abang” berpijar dalam semangat Ir. Soekarno, proklamator dan Presiden pertama Indonesia, yang jejak masa kecilnya tertanam di wilayah Ploso, Jombang. Abang adalah warna perjuangan rakyat kecil, warna marhaen yang menggugat ketidakadilan dan menuntut kedaulatan. Soekarno membakar semangat bangsa melalui pidato-pidatonya yang revolusioner, menanamkan nasionalisme yang berlandaskan pada kebanggaan akan jati diri Indonesia.
Harmoni Ijo Abang: Miniatur Indonesia
Di Jombang, “ijo” dan “abang” tidak saling bertentangan. Keduanya justru berdialog dan bersinergi. Di sinilah pesantren tidak anti-nasionalisme, dan semangat marhaen tidak anti-agama. Justru dari harmoni keduanya, Jombang menjelma menjadi miniatur Indonesia—plural, dinamis, dan penuh harapan.
“Ijo Abang” bukan sekadar warna, tetapi identitas. Ia adalah narasi kebangsaan yang menyatukan langit-langit masjid dan tiang-tiang bendera Merah Putih. Dari Jombang, kita belajar bahwa keberagaman bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan untuk dirajut menjadi kekuatan.
Oleh: Gambit Gerdu Papak












