Dewan Advokat Nasional (DAN) atau Single Bar sesuai UUA No. 18/2003 ??

oleh: Syarifuddin, S.H., M.H., MED., CPM., CCD.

Sebagai warga negara yang juga berprofesi sebagai advokat dan mediator, kami menolak keras serta mengecam peristiwa kelam dalam sejarah peradilan di Indonesia sebagaimana yang telah terjadi pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang berujung dengan keributan antara terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban.

Kami sangat setuju dan mendukung penuh himbauan dari Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Yasardin, sebagaimana dikutip dari: Buntut Kericuhan Sidang di PN Jakut, IKAHI Imbau Masyarakat Tak Gunakan Jasa Advokat Pelanggar Etik, (2025, Februari 10). Diakses pada Februari 18, 2025 dari artikel: https://www.hukumonline.com/berita/a/buntut-kericuhan-sidang-di-pn-jakut–ikahi-imbau-masyarakat-tak-gunakan-jasa-advokat-pelanggar-etik-lt67a9bf55473bc
Ia menyarankan agar masyarakat tidak menggunakan jasa oknum advokat yang tidak profesional dan tidak menjaga kehormatan profesinya.

Yasardin juga mengimbau masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih kuasa hukum. Namun, ia menyebut agar masyarakat tidak lagi menggunakan jasa advokat yang telah dikenal sebagai pelaku pelanggaran etik atau hukum.

Berangkat dari kejadian tersebut, beberapa pihak menilai perbuatan, tingkah laku serta sikap dari RA dan FO telah merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, kehormatan profesi advokat, dan badan peradilan.

Buntut dari kejadian tersebut, melalui Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon Nomor: 44/KPT.W27-U/HM.1.1.1/II/2025 telah membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama Razman Arif, S.H, dan Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 52/KPT.W29/HM.1.1.1/II/2025 telah membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama M. Firdaus Oiwobo, S.H.

Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Advokat dijelaskan “Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”, kemudian dilanjutkan oleh ayat (3) yang menerangkan “Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri”.

Lebih lanjut pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dimana dinyatakan “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.”

Dalam kondisi tersebut terdapat 2 (dua) hal yang menjadi konsentrasi penulis dalam hal ini yaitu masih perlukah Dewan Advokat Nasioanal (DAN) atau kembali pada Single Bar system sesuai ketentuan Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 ??

Sebagaimana diketahui bersama dari banyak pemberitaan yakni surat keputusan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) diterbitkan adalah sebelum adanya pemeriksaan etik terhadap diri Razman Arif dan M. Firdaus Oiwobo oleh Organisasi Advokat tempat mereka bernaung.

Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 sendiri mewajibkan advokat mematuhi juga tunduk terhadap Kode Etik Profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi. Dewan Kehormatan juga memiliki tugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan kode etik advokat.

Razman Arif secara tegas menyatakan bahwa dirinya sudah bukan lagi anggota dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) melainkan anggota PERADI Bersatu sehingga yang berhak memeriksa pelanggaran etiknya adalah organisasi tempatnya bernaung.

Dalam hal ini seharusnya DAN menjadi garda depan dalam mendorong agar pemeriksaan etik terhadap Razman Arif dan M. Firdaus Oiwobo oleh Organisasi Advokat tempat mereka bernaung sampai dengan adanya putusan.

DAN dalam hal ini seharusnya lebih proaktif mengupayakan terjalinnya komunikasi atau setidaknya menjadi jembatan antara para pihak, dan di samping itu didapati fakta bahwa pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) terhadap Razman Arif dan M. Firdaus Oiwobo tersebut juga tidak secara tegas mencantumkan batas waktu sampai kapan dibekukan sehingga menurut penilaian kami DAN telah gagal sebelum lahir.

UUA No. 18/2003 mengamanatkan Single Bar system, Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) telah dilaksanakan dengan baik oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”) dibawah kepemimpinan Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.M. hal tersebut terlepas ada beberapa pihak yang suka atau tidak suka.

Beberapa kendala yang terjadi dalam dunia advokat seperti penerapan sanksi etik, advokat loncat organisasi atau advokat yang memiliki OA lebih dari 1 (satu) dan sebagainya akan sendirinya selesai jika kembali pada UUA No. 18/2003 sepanjang belum dirubah.

Kesimpulannya adalah DAN hanyalah istilah lain dari Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang terdiri dari beberapa organisasi advokat dimana telah memprakarsai terbentuknya Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) sebagaimana dimaksud dalam UUA No. 18/2003.

Single Bar sesuai yang diamanatkan oleh UU Advokat No. 18 Tahun 2003 adalah jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan polemik yang terjadi saat ini, Pasal 10 ayat (1) Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan pengawasan atas pelaksanaan kode etik advokat dilakukan secara eksplisit oleh Dewan Kehormatan.

Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan etik apabila terjadi pelanggaran, hal tersebut sebagaimana telah dijalankan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”) dibawah kepemimpinan Prof. Otto Hasibuan, S.H., M.M.

Penulis: TIM S.OEditor: SNF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *