Jakarta – Tahun 2025 disebut-sebut sebagai tahun kecerdasan buatan (AI) di berbagai sektor kehidupan. Teknologi ini menawarkan kemudahan dan efisiensi, namun juga menyimpan sejumlah risiko, termasuk penyalahgunaan yang semakin marak di Indonesia.
AI kini digunakan secara luas dalam layanan pelanggan, sektor pendidikan, industri kreatif, hingga kesehatan. Teknologi ini mampu menyelesaikan pekerjaan repetitif secara cepat dan akurat, mempermudah analisis data, serta memberikan rekomendasi yang dipersonalisasi kepada pengguna.
“AI bisa beroperasi tanpa henti dan meningkatkan efisiensi berbagai proses. Bahkan di dunia pendidikan, AI mampu mengidentifikasi kelemahan siswa dan memberikan materi yang sesuai,” tulis laporan Katadata, dikutip Jumat (20/6).
Namun di balik manfaatnya, kecerdasan buatan juga memunculkan tantangan baru. Mulai dari potensi penggantian tenaga kerja manusia, ketergantungan pada data, hingga munculnya bias algoritma yang dapat menimbulkan diskriminasi dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, AI kini menjadi alat yang rawan disalahgunakan untuk kejahatan digital. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyebutkan bahwa pemalsuan dokumen dan bukti digital berbasis AI telah terjadi di Indonesia.
“Bukti transfer palsu bisa dibuat dengan sangat cepat menggunakan AI. Bahkan sampai hologram-nya juga bisa ditiru,” ujar Nezar dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Pakar hukum keamanan siber, Pratama Dahlian, mengungkapkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih belum siap menghadapi ancaman dari penyalahgunaan AI. Ia menilai belum ada regulasi yang spesifik dan mengikat secara hukum terkait teknologi ini.
“Manipulasi identitas berbasis AI, termasuk dokumen resmi seperti KTP dan paspor, menjadi ancaman nyata. Sayangnya, belum ada payung hukum yang kuat,” kata Pratama.
Sementara itu, pakar media dari George Washington University, Prof. Janet Steele, turut angkat bicara terkait penggunaan AI dalam dunia jurnalistik. Ia menilai AI tidak bisa menggantikan fungsi jurnalis sejati.
“Orang Indonesia jauh lebih berani memakai AI, bahkan untuk presenter. Tapi jurnalisme sejati tetap soal verifikasi, riset, dan turun langsung ke lapangan—sesuatu yang belum bisa digantikan AI,” kata Steele.
Sejumlah pihak mendorong pemerintah segera mempercepat pembentukan regulasi dan pedoman etika penggunaan AI, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi ini. Tanpa regulasi yang jelas, AI bisa menjadi ancaman serius bagi keamanan digital dan integritas informasi publik.












