Menembus Batas Panggung: Pertunjukan Teater Rooftop Pertama di Gresik

Ketika membayangkan sebuah pertunjukan teater, kebanyakan orang akan memikirkan panggung megah, pencahayaan dramatis, dan aktor yang beraksi di depan penonton yang duduk rapi dalam auditorium tertutup. Teater selama ini identik dengan ruang yang memberi jarak antara pemain dan penonton, dipisahkan oleh batas panggung dan kursi. Namun, bagaimana jika batasan itu dihilangkan? Jika sebuah pertunjukan teater tidak lagi dibatasi ruang panggung, melainkan dipentaskan di tempat terbuka, di bawah langit luas dengan pemandangan kota yang terbentang?

Eksperimen teater di luar batasan ruang konvensional ini dihadirkan oleh Kendati Chaos, kelompok teater yang menampilkan pertunjukan dalam rangkaian program pameran The Jumping City, diselenggarakan oleh Yayasan Gang Sebelah. Acara ini digelar pada Minggu (16/3) malam di rooftop Sualoka.Hub, yang berlokasi di Jl. Nyai Ageng Arem-Arem Gg. II No. 20, Kampung Kemasan, Gresik.

Sensasi Teater di Atas Rooftop

Menghadirkan teater di atas rooftop bangunan tua berusia lebih dari 120 tahun milik Sualoka.Hub, pertunjukan ini menawarkan pengalaman baru bagi para pencinta seni pertunjukan. Rooftop yang biasanya digunakan untuk bersantai atau menikmati pemandangan kota disulap menjadi panggung hidup yang menghadirkan cerita, emosi, dan eksplorasi artistik unik. Untuk pertama kalinya di Gresik, sebuah pertunjukan teater digelar di atas rooftop, menciptakan pengalaman berbeda dalam menikmati seni pertunjukan.

Dalam kesempatan ini, Kendati Chaos yang disutradarai oleh Choiruz Zaman menampilkan naskah berjudul “Aku Ingin Menyebut Laut dengan Huruf Kapital di Depannya”, karya Shohifur Ridho’i. Pementasan ini mengeksplorasi ingatan tentang laut yang kian pudar—laut yang lungkrah, tak lagi asin, hanya pahit. Sebuah refleksi tentang kehidupan yang terus bergulir di tengah kegelisahan.

Pertunjukan ini mengusung pendekatan unik dalam menempatkan penonton. Tidak seperti format teater konvensional, penonton duduk di kursi layaknya di kafe atau warung kopi yang berada di tengah, sementara para aktor bergerak dan beraksi mengelilingi mereka. Seperti Damar Kurung yang membingkai cahaya, pertunjukan ini membongkar batas antara pemain dan penonton, menciptakan pengalaman yang lebih dekat dan intim. Setiap ekspresi wajah, gerakan tubuh, hingga perubahan nada suara para aktor terasa lebih intens, seolah-olah penonton tidak hanya menyaksikan, tetapi juga menjadi bagian dari cerita yang berlangsung.

Keunikan lainnya, penonton disuguhi proyeksi gambar yang disorot ke atap rumah-rumah tua di Kampung Kemasan, sambil menikmati pemandangan pabrik-pabrik kota industri yang menyala di malam hari.

Pertunjukan yang Bertahan di Tengah Hujan

Meski sempat tertunda beberapa jam akibat hujan, pertunjukan tetap berlangsung. Penonton yang hadir bersedia menyaksikan pementasan dengan mengenakan jas hujan yang disediakan panitia, bertahan lebih dari 30 menit dengan penuh perhatian. Seolah ada rasa saling percaya antara pemain dan penonton, atau mungkin pertunjukan ini dianggap terlalu berharga untuk dilewatkan. Dalam suasana basah, teater tetap berlangsung dengan khusyuk.

Setelah pertunjukan, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Choiruz Zaman, selaku sutradara, menjelaskan bahwa pementasan ini merupakan refleksi dari realitas di Gresik serta aktivitas yang dijalani sehari-hari.

Pertunjukan ini pun mendapat respons positif dari para penonton. “Dari pertunjukan ini, saya merasakan luapan emosi seperti amarah dan kekecewaan. Saya juga menangkap gambaran hiruk-pikuk kehidupan di Gresik yang tergambar dalam pementasan. Ini bisa dianggap sebagai kritik tersirat terhadap kondisi lingkungan, khususnya terkait laut dan ekosistem di kota ini,” ujar Harry Koko Priutama.

Para aktor juga berbagi pengalaman mereka. Ada yang merasa bahwa pementasan ini sangat relevan dengan kondisi yang mereka rasakan di Gresik, terutama terkait polusi dan suhu panas kota industri. Mereka merasa cerita yang disampaikan benar-benar mencerminkan realitas yang mereka hadapi sehari-hari.

Melalui pertunjukan ini, Yayasan Gang Sebelah tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga membuka kemungkinan baru dalam seni pertunjukan di Indonesia. Teater di atas rooftop bukan sekadar persoalan lokasi yang tidak biasa, tetapi juga bagaimana ruang dapat memengaruhi pengalaman, makna, dan resonansi sebuah cerita. Sebuah eksplorasi yang menembus batas panggung konvensional, menjanjikan format pertunjukan yang lebih dekat, lebih intim, dan lebih bermakna.

Penulis: BAMBANG SOERYANTOEditor: SNF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *