Bogor, 16 Juli 2025 – Pembangunan infrastruktur, yang kerap digalakkan atas nama kepentingan publik, tak jarang menyisakan dampak sosial dan ekologis mendalam. Pengalaman warga Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, terkait pembangunan Jalan Tol Depok-Antasari (Desari) Seksi 3, menjadi catatan kritis tentang kegagalan negara dalam menghadirkan keadilan dan transparansi.
Mochdar Soleman, dosen dan pengamat politik lingkungan Universitas Nasional, sekaligus Presidium Suara Warga Pabuaran (SAPU) dan Sekjen GP NUKU, mencatat bagaimana proses pengadaan tanah ini sarat kekuasaan sepihak dan minim partisipasi warga.
Proses Minim Informasi dan Pendataan Sepihak
Permasalahan bermula pada 18 September 2022, ketika warga pertama kali menerima undangan dari Panitia Pengadaan Tanah (P2T) terkait rencana pembangunan Tol Desari Seksi 3. Pertemuan lanjutan pada 21 dan 22 September tidak memberikan informasi mendasar kepada warga yang hadir, seperti lokasi pasti bidang yang terdampak, jumlah bidang, maupun prosedur teknis pengadaan tanah. Ketiadaan peta bidang dan dokumen legal penetapan panitia dari instansi berwenang menjadi tanda tanya besar.
Pada Oktober 2022 hingga Februari 2023, tim dari BPN, PUPR, dan dinas terkait melakukan pengukuran tanah dan bangunan tanpa surat perintah resmi, tanpa kehadiran perwakilan RT/RW yang konsisten, dan tanpa memberikan hasil ukur kepada warga. Bahkan, warga dilarang mendokumentasikan hasil ukur. Banyak warga hanya diminta menandatangani lembar kosong atau dokumen yang tidak mereka pahami. “Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar partisipasi warga yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,” ujar Mochdar.
Penilaian Tanpa Dialog dan Musyawarah yang Berujung Pemaksaan
Proses penilaian oleh tim appraisal pada 31 Maret 2023 berlangsung tanpa mekanisme verifikasi dengan warga. Tim datang tanpa identitas resmi, tidak membandingkan dokumen warga dengan kondisi lapangan, dan melakukan penilaian secara tertutup. Mochtar mengindikasikan adanya interaksi personal mencurigakan antara pihak appraisal dengan individu tertentu yang bukan warga terdampak. “Kejanggalan ini menjadi awal kecurigaan bahwa proses penilaian harga ganti rugi dilakukan secara tidak profesional dan bisa dimanipulasi oleh aktor-aktor tidak bertanggung jawab,” jelasnya.
Ironisnya, undangan musyawarah penetapan nilai ganti kerugian pada Juli dan September 2023 justru berubah menjadi pemaksaan. Warga hanya diberikan pilihan bentuk kompensasi uang, saham, atau relokasi tanpa ada pembahasan nilai, tanpa ruang keberatan, bahkan tanpa pendampingan hukum. Warga yang tidak setuju diarahkan untuk menyelesaikan masalah di pengadilan.
“Proses ini tidak hanya cacat prosedur, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuasaan menggunakan pendekatan manajemen konflik secara represif. Ini melanggar amanat Pasal 37 UU Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur bahwa musyawarah adalah ruang deliberatif untuk mencapai kesepakatan antara pemilik hak dan panitia pengadaan tanah,” tegas Mochtar.
Aksi Kolektif dan Jalan Panjang Advokasi yang Nihil Hasil
Menyikapi proses yang tidak adil ini, warga membentuk forum Suara Warga Pabuaran (SAPU) dan mulai mengajukan keberatan resmi ke berbagai lembaga, mulai dari kelurahan, kecamatan, BPN, PUPR, DPRD, hingga Kementerian ATR/BPN. Warga juga melakukan audiensi dengan Fraksi PKS DPRD Kabupaten Bogor (11 September 2023) dan DPR RI (18 Oktober 2023), serta mengadakan unjuk rasa damai pada 10 dan 20 Oktober 2023.
Namun, tanggapan serius tak kunjung tiba. Warga justru mengalami kebingungan administratif. Salah satu contoh paling mencolok adalah agenda pertemuan dengan ATR/BPN yang berulang kali berpindah lokasi tanpa alasan jelas, bahkan perwakilan warga sempat ditolak masuk. Hasil audiensi pun nihil. Kepala Kantah ATR/BPN sekaligus Ketua P2T Ibu Julian dan PKK Ibu Triana hanya menyatakan akan mengajukan permohonan revisi nilai (peninjauan kembali) ke pusat (KPA) tanpa memberikan tenggat atau mekanisme pengawasan yang jelas.
Harapan yang belum pulih juga dirasakan setelah warga menghadiri undangan Ombudsman RI pada 13 November 2023. Meskipun Kantah ATR/BPN Bogor mengirim surat perihal survei lanjutan pada 14 November 2023, hingga kini belum ada hasil konkret. “Kami masih menanti pengakuan formal atas hak kami: keadilan prosedural, harga yang wajar, dan pengakuan atas martabat sebagai warga negara,” kata Mochdar.
Mochdar Soleman menegaskan, pembangunan seharusnya menjadi ruang pemulihan, bukan penggusuran. Keadilan sosial bukan hanya jargon, tetapi prinsip yang harus menjiwai setiap proyek negara. “Tol Desari Seksi 3 adalah pengingat bahwa ketika negara gagal mendengarkan warganya, yang lahir bukanlah kemajuan melainkan luka kolektif. Kami warga Pabuaran menolak ketidakadilan, dan kami akan terus bersuara, karena keadilan bukan hadiah, ia adalah hak,” pungkasnya.












