Hari pertama masa tenang Pilkada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), justru diwarnai aksi demonstrasi besar-besaran. Ratusan aktivis dan pejuang agraria dari Aliansi Timor Raya yang terdiri dari 15 organisasi dan satu lembaga adat (Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban) menggelar long march dan demonstrasi di depan Kantor Bupati TTS. Mereka menolak klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas tanah-tanah rakyat di 115 desa di TTS dan perubahan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional.
Aksi yang dimulai dari cabang dua jalur di bawah Polres TTS ini sempat dihadang oleh barikade polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja. Para demonstran termasuk mahasiswa dari IKMABAN (Ikatan Mahasiswa Asal Amanuban), FMN dan IKMAS tetap bertahan meski diguyur hujan.
Setelah negosiasi alot selama tiga jam, Bupati TTS akhirnya bersedia menerima 18 perwakilan demonstran untuk audiensi.
Dalam audiensi yang berlangsung di ruang Bupati para perwakilan menyampaikan berbagai unek-unek, Pina Ope Nope dari Sonaf Amanuban misalnya, ia menuding KLHK dan BPKH Provinsi NTT telah memasang patok di 45 desa di Amanuban dan memasukkan tanah-tanah rakyat ke dalam kawasan hutan Laob Tumbesi sejak tahun 1983. Ia juga mempertanyakan perubahan status Mutis tanpa melalui proses adat.
Defri Sae, tokoh pemuda Amanuban menambahkan bahwa pengambilan tanah secara paksa ini merupakan bentuk penjajahan baru setelah sebelumnya rakyat Amanuban tidak pernah dijajah Belanda. Amnon Lette, tokoh adat dari Desa Oenai bahkan mengancam akan kembali ke sistem pemerintahan adat jika pemerintah daerah gagal melindungi kepentingan rakyat.
Perwakilan organisasi kepemudaan (OKP) lainnya juga turut menyuarakan keprihatinan. Nikodemus Manao dari ITA PKK dan AGRA mengingatkan potensi krisis air bersih jika Mutis dikuasai untuk kehutanan. Aldy Benu dari IKMAS TTS mengecam kelemahan Pemda dalam menyikapi isu Laob Tumbesi dan Taman Nasional Mutis. Yoksan Mailam dari FMN bahkan menyebut ini sebagai grand desain pemerintah pusat untuk menguasai sumber daya alam masyarakat Timor.
Menanggapi aksi tersebut, Penjabat Bupati TTS, Edison Sipa, menyatakan bahwa pemerintah daerah telah menampung aspirasi masyarakat dan akan mengirimkan surat kepada KLHK untuk menolak klaim tanah dan perubahan status Cagar Alam Mutis.
Aksi ini menjadi sorotan tajam karena terjadi di tengah masa tenang Pilkada. Keberanian masyarakat TTS dalam memperjuangkan hak-haknya atas tanah dan lingkungan hidup menjadi perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan besar tentang pengelolaan sumber daya alam dan keadilan agraria di Indonesia.