Jakarta, 11 Juli 2025 — Provinsi Maluku Utara saat ini berada di tengah transformasi besar arah pembangunan, dari wilayah berbasis agraris dan pesisir menjadi pusat industri nikel nasional. Perubahan ini menjadikan Maluku Utara sebagai salah satu episentrum hilirisasi industri logam di Indonesia, terutama di wilayah Halmahera.
Menurut Mochdar Soleman, Sekretaris Jenderal GP Nuku sekaligus pengamat politik lingkungan dari Universitas Nasional Jakarta, pembangunan yang terjadi menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, namun juga menyisakan tantangan dalam aspek ekologi dan sosial.
“Pembangunan berbasis industri ekstraktif menghadirkan paradoks. Di satu sisi ada pertumbuhan dan infrastruktur, namun di sisi lain terjadi deforestasi, konflik lahan, dan keterpinggiran masyarakat lokal,” ujarnya dalam sebuah analisis yang diterbitkan Jumat (11/7).
Ia menyoroti peran politisi perempuan Maluku Utara, Sherly Tjoanda, yang dinilai memiliki pengaruh besar dalam arah kebijakan daerah, terutama dalam sektor pertambangan. Sherly disebut memiliki posisi strategis dalam relasi antara pemerintah daerah, investor, dan masyarakat terdampak pembangunan.
Berdasarkan data dari sejumlah organisasi lingkungan seperti JATAM, WALHI, dan Trend Asia (2023), lebih dari 95.000 hektare lahan di Halmahera Tengah telah dikuasai oleh izin usaha pertambangan, termasuk PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang mengelola konsesi seluas 45.045 ha. Di Pulau Gebe dan Maba, kawasan hutan adat disebut telah berubah menjadi areal tambang, serta terjadi pencemaran laut yang memengaruhi aktivitas nelayan.
Mochdar menjelaskan, keberadaan infrastruktur industri seperti smelter dan pelabuhan bukan hanya simbol pembangunan, melainkan juga representasi relasi kuasa yang kerap meminggirkan masyarakat lokal dari ruang hidup mereka.
Selain aspek lingkungan, ia juga mengkaji praktik patronase politik dalam kebijakan pembangunan di daerah. “Ketika aktor lokal seperti Sherly Tjoanda memiliki peran dalam proses perizinan dan investasi, maka perlu ada kontrol dan transparansi untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau pengabaian hak masyarakat,” jelasnya.
Beberapa laporan masyarakat menyebut adanya tekanan terhadap warga yang mempertanyakan dokumen AMDAL atau menolak aktivitas tambang. Di beberapa kasus, warga disebut menghadapi intimidasi atau pelabelan sebagai penghambat pembangunan.
Sebagai Gubernur Maluku Utara, posisi Sherly Tjoanda dinilai menjadi kunci dalam menentukan masa depan arah pembangunan di provinsi tersebut. Mochdar menegaskan pentingnya reformulasi kebijakan agar berpihak pada kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan.
“Pembangunan tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan ekologis dan sosial. Perlu ada pendekatan pembangunan yang lebih demokratis dan partisipatif,” tutupnya.












