Rumor Pencabutan Kartu Liputan CNN Indonesia dan Ujian Kebebasan Pers

Oleh: Mahmud Marhaba (Ketua Dewan Pimpinan Pusat PJS)

Sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pro Jurnalismemedia Siber (DPP PJS), saya merasa perlu memberikan catatan terkait rumor yang beredar mengenai pencabutan kartu liputan wartawan CNN Indonesia oleh Istana. Reaksi cepat dari berbagai organisasi pers, termasuk Dewan Pers, menunjukkan betapa seriusnya insiden ini.

Publik berhak bertanya: Jika kabar ini benar, apakah ini perintah langsung dari Presiden, atau lahir dari ketakutan Humas di lingkungan Istana?

Bagi saya, kebebasan pers bukan sekadar jargon, melainkan amanat konstitusional (Pasal 28F UUD 1945). Pers berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk memperoleh informasi. Oleh karena itu, pencabutan kartu liputan tidak hanya urusan administratif, tetapi dapat dipahami sebagai pembatasan hak konstitusional warga negara.

Kartu liputan hanyalah sarana akses, bukan instrumen hukuman. Jika suatu berita dianggap tidak akurat, mekanismenya sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Pers: hak jawab, hak koreksi, atau pengajuan kepada Dewan Pers. Menutup akses liputan hanya akan menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah anti-kritik.

Demokrasi kita hanya akan sehat jika pers secara bebas menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Membatasi akses media sangat berbahaya karena menciptakan “efek ketakutan” bagi media lain, yang kemudian akan memilih keamanan daripada kritik. Padahal, kritik yang sehat adalah vitamin bagi pemerintah, bukan racun.

Oleh karena itu, saya menawarkan solusi mendasar:

  1. Klarifikasi Terbuka: Pemerintah, melalui Istana, harus mengklarifikasi masalah ini secara terbuka untuk menghentikan spekulasi publik.
  2. Audit Keputusan: Jika pencabutan itu benar, Presiden perlu memastikan apakah itu keputusannya atau sekadar blunder aparat Humas.
  3. Dialog Rutin: Jalin dialog teratur antara Presiden dan pers untuk menjaga kepercayaan terhadap komitmen demokrasi.
  4. Anggap Kritik sebagai Refleksi: Anggap kritik media sebagai refleksi dan masukan, bukan sebagai ancaman.

Saya yakin Presiden tidak alergi terhadap kritik. Namun, jika langkah-langkah pembatasan ini terus berlanjut, citra demokrasi kita yang dibangun pasca-reformasi akan tercoreng.

Di sinilah Presiden akan diuji: akankah ia teguh dalam melindungi kebebasan pers atau membiarkan demokrasi kita digagalkan oleh ketakutan dari lingkaran dalamnya sendiri? Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi kebebasan pers di Indonesia.

Penulis: JULIARDIEditor: SNF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *