Jombang, 23 Juli 2025 – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah resmi mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur penggunaan sound horeg—sistem audio berkekuatan tinggi yang sering dipakai dalam hajatan rakyat. Fatwa yang diumumkan pada 16 Juli 2025 ini segera menjadi sorotan, tidak hanya karena substansi hukum keagamaannya, tetapi juga implikasi sosial dan ekonominya.
Dalam sosialisasi bersama Paguyuban Sound System Jombang (PSS Jombang) pada Rabu (23/7), Wakil Ketua MUI Jombang KH Muhammad Nur Hanan menjelaskan bahwa fatwa ini lahir dari laporan masyarakat, termasuk petisi penolakan dengan 828 tanda tangan. Permintaan fatwa diajukan warga karena dianggap ada keresahan akibat penggunaan sound horeg, terutama terkait kebisingan dan potensi konflik sosial.
Namun, narasi tunggal soal “keresahan masyarakat” ini patut dipertanyakan. Sejauh mana suara warga yang mendukung eksistensi sound system tradisional juga didengar? Apakah MUI telah membuka ruang dialog dengan pelaku usaha hiburan rakyat sebelum menerbitkan fatwa? Bagaimana verifikasi atas petisi tersebut dilakukan, dan apakah benar mewakili kehendak umum?
Fatwa ini membagi hukum penggunaan sound horeg ke dalam dua kategori: haram, jika penggunaannya melampaui batas wajar, menimbulkan gangguan, atau digunakan untuk acara yang mengandung unsur kemungkaran; dan mubah (boleh), jika sesuai kebutuhan, tidak mengganggu, serta digunakan dalam acara keagamaan atau pernikahan yang sesuai syariat.
Namun, dalam implementasinya, batasan seperti “volume wajar” atau “tidak mengganggu” sangatlah subjektif. Tidak ada mekanisme pengukuran baku yang bisa diberlakukan seragam di lapangan. Jika fatwa ini kemudian dijadikan dasar oleh aparat atau pemerintah daerah untuk membatasi kegiatan hiburan masyarakat, potensi represi terhadap budaya lokal justru bisa meningkat.
Yang lebih disoroti publik adalah pelarangan “battle sound” yang dinilai haram mutlak. Hal ini karena dianggap menyia-nyiakan harta (tabdzir), mengganggu orang lain, dan memicu konflik sosial. Padahal, bagi sebagian komunitas, battle sound merupakan ajang kreativitas, ekspresi teknis, dan perebutan prestise profesional dalam komunitas audio. Larangan mutlak terhadapnya dikhawatirkan mematikan ekosistem hiburan rakyat tanpa solusi yang adil.
MUI juga merekomendasikan agar pemerintah daerah membuat aturan khusus soal sound horeg, dan agar Kemenkumham tidak melegalkan kekayaan intelektual terkait sound horeg sebelum ada regulasi. Ini menandai bahwa fatwa yang sejatinya bersifat keagamaan mulai merambah ke wilayah kebijakan publik yang lebih luas, dengan implikasi hukum yang bisa sangat memberatkan kelompok tertentu.
Publik bertanya: Apakah MUI kini menjadi lembaga moral yang turut menentukan nasib pelaku ekonomi kreatif? Dan apakah pendekatan yang dilakukan telah seimbang antara menjaga harmoni sosial dan melindungi hak budaya serta ekonomi masyarakat kelas bawah?
Fatwa ini bukan hanya soal volume suara. Ia juga menjadi simbol tarik-menarik antara nilai-nilai keagamaan, kontrol sosial, dan ruang kebebasan berekspresi masyarakat. Di tengah masyarakat yang semakin plural, diperlukan kehati-hatian agar “fatwa sosial” semacam ini tidak dijadikan alat pembatas yang membungkam keberagaman ekspresi budaya.
“Mari kita pahami secara utuh, jangan potong-potong fatwa lalu diviralkan,” pesan KH Nur Hanan.
Namun, publik juga berhak bertanya: Apakah MUI juga bersedia membuka ruang diskusi dua arah, bukan hanya mengeluarkan fatwa dan berharap dipatuhi begitu saja?
Catatan Jurnalis: Liputan ini ditulis sebagai bagian dari upaya memberikan ruang kritis terhadap kebijakan keagamaan yang berdampak luas secara sosial dan ekonomi. Keseimbangan antara norma agama dan hak kebudayaan rakyat harus tetap dijaga dalam ruang demokrasi.













