Jakarta, 24 Juli 2025 – Musisi jalanan adalah wajah paling jujur dari kota, menyuguhkan seni yang hidup di antara lalu-lalang manusia tanpa panggung mewah. Di balik petikan gitar dan nyanyian di trotoar, tersimpan dinamika politik ruang publik, industri hiburan akar rumput, dan ekonomi mikro yang tak terdata dalam statistik resmi.
Demikian disampaikan Mochdar Soleman, S.I.P., M.Si., Koordinator Komunitas Pecinta Seni Karaoke (KPK) sekaligus Pengamat Sosial dan Politik Universitas Nasional, dalam tinjauannya mengenai eksistensi musisi jalanan.
Pengalaman Mochdar Soleman di berbagai sudut kota se-Jabodetabek menunjukkan denyut kehidupan para musisi jalanan. Di pelataran Kota Tua, tepat di depan Museum Fatahillah, suasana berubah menjadi semacam panggung terbuka. Musisi jalanan tampil tanpa gemerlap lampu sorot, hanya berbekal alat musik sederhana dan semangat tinggi, menyuguhkan alunan jazz, klasik, pop, hingga irama tradisional yang menggetarkan jiwa. Pengunjung tidak sekadar menonton, tetapi juga bernyanyi, berjoget, dan larut dalam irama, menciptakan batas antara penampil dan penonton nyaris tak terlihat.
Perjalanan Mochdar Soleman juga membawanya ke alun-alun Kota Bogor, di mana musisi jalanan tak hanya bermain musik tetapi juga bertransformasi menjadi seniman digital masa kini. Mereka lengkap dengan kamera, lighting sederhana, dan sambungan live streaming ke media sosial. Bukan sekadar hiburan, mereka menciptakan ruang kolaboratif yang mengajak siapa pun untuk ikut serta, menjadi bagian dari pertunjukan. Suasana serupa juga ditemui di alun-alun Rangkasbitung dan alun-alun Jonggol. Bahkan, di persimpangan lampu merah Cibinong hingga arah Dermaga Bogor, musisi jalanan tampil dalam formasi paling sederhana: gitar tua, suara lantang, dan keyakinan bahwa musik bisa menggerakkan hati.
“Di tiap titik itu, saya menyaksikan bukan hanya pertunjukan, tapi juga perjuangan, sebuah dedikasi dalam menghadirkan keindahan di tengah keterbatasan. Para musisi jalanan bukan sekadar penghibur, mereka adalah penyair zaman modern yang mengubah trotoar dan alun-alun menjadi panggung kecil penuh makna,” kata Mochdar Soleman.
Tulisan ini bertolak dari tiga pokok persoalan: bagaimana musisi jalanan hadir dalam lanskap politik ruang publik, bagaimana seni menjadi jalan hidup mereka, dan bagaimana kebijakan negara turut menentukan nasib mereka. Ketiga persoalan ini tak bisa dilepaskan dari pendekatan filosofis, yuridis, dan artistik.
Secara filosofis, eksistensi musisi jalanan berkaitan erat dengan hakikat ruang publik sebagai arena perjumpaan, perbedaan, dan partisipasi. Mengutip Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958), “Ruang penampilan muncul di mana pun manusia bersama dalam cara berbicara dan bertindak… Adalah ruang di mana [mereka] bisa muncul.”
Mochdar Soleman menjelaskan bahwa musik jalanan adalah bentuk paling otentik dari partisipasi budaya di ruang bersama yang tidak membutuhkan tiket, tidak dibatasi kelas sosial, dan tidak tunduk pada logika eksklusivitas seni tinggi. Namun, ruang publik di Indonesia masih sering dimaknai secara sempit, hanya sebagai milik pemerintah atau ruang lalu lintas. “Ketika musisi jalanan tampil di trotoar atau stasiun, mereka dianggap mengganggu ketertiban, bukan sebagai ekspresi budaya. Ini problem ontologis sekaligus epistemologis: bagaimana negara memahami ruang dan siapa yang berhak tampil di dalamnya?” ujarnya.
Dari aspek yuridis, tidak ada aturan nasional yang secara spesifik mengatur status musisi jalanan. Namun, berbagai Peraturan Daerah (Perda) ketertiban umum di kota-kota besar sering kali menjadi dasar untuk membatasi, bahkan menyingkirkan mereka. Perda semacam ini kerap membungkam ekspresi publik atas nama keteraturan kota.
Beberapa daerah memang mulai membuka ruang dengan skema perizinan, pelatihan, atau alokasi titik pertunjukan, namun prosedurnya seringkali rumit dan tidak adaptif dengan kondisi pelaku seni jalanan yang bekerja secara spontan dan informal. “Di titik inilah negara harus bertindak bukan sekadar sebagai regulator, tetapi fasilitator. Musisi jalanan adalah bagian dari warga negara yang menjalankan hak konstitusionalnya, yakni kebebasan berekspresi, hak atas pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan budaya. Jika negara membatasi ruang itu, maka yang terjadi adalah eksklusi sosial yang dilegalkan secara administratif,” tegas Mochdar Soleman.
Dalam lanskap hiburan, musisi jalanan adalah industri kecil yang hidup dari interaksi langsung dengan masyarakat. Mereka menciptakan hiburan yang murah, spontan, dan egaliter. Ini bukan hanya urusan estetika, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap dominasi kapital dalam industri musik.
Banyak musisi jalanan kini bertransformasi menjadi content creator yang menyalurkan karya melalui YouTube, TikTok, hingga platform donasi. Mereka menjadikan jalanan bukan sekadar panggung, tetapi juga ruang produksi ekonomi kreatif berbasis komunitas. Ini adalah bentuk bisnis musik akar rumput yang tumbuh di pinggiran sistem formal.
Sayangnya, karena beroperasi di luar sistem ekonomi formal, mereka tidak mendapat perlindungan sosial yang memadai, seperti jaminan kesehatan, akses pembiayaan, atau sistem promosi yang menjangkau luas. “Dalam konteks inilah kebijakan negara perlu hadir untuk mendorong keberlanjutan usaha mereka,” papar Mochdar Soleman.
Eksistensi musisi jalanan adalah fenomena kompleks yang mencerminkan relasi antara seni, politik, dan ekonomi. Mereka bukan sekadar pengamen, tetapi juga pelaku budaya, produsen hiburan, dan pekerja informal yang menghidupi diri dan kreativitasnya.
Mochdar Soleman menyimpulkan bahwa pemerintah daerah dan pusat perlu bersinergi dengan komunitas musisi jalanan untuk menciptakan ekosistem seni yang berkeadilan. Ini bisa dimulai dengan penyediaan ruang aman dan legal, skema pendampingan artistik dan bisnis, serta pelonggaran birokrasi perizinan.
“Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi dan dingin, suara musisi jalanan adalah pengingat bahwa kota masih memiliki denyut manusiawi. Mereka bukan gangguan, mereka adalah jiwa dari ruang publik kita,” tutupnya.