Kisah Inspiratif Syamsul Jahidin: Dari Satpam Beralas Koran, Kini Jadi Advokat yang ‘Guncang’ UU Polri di MK

JAKARTA – Sejarah reformasi birokrasi hari ini diukir oleh seorang advokat muda dari Mataram, Syamsul Jahidin. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatannya—yang membatasi rangkap jabatan polisi aktif di posisi sipil—diperkirakan akan membuat ribuan personel Polri harus kembali ke markas.

Kisah Syamsul menjadi sorotan nasional karena ia berhasil mengguncang tatanan yang sudah mapan. Ia bukan seorang Jenderal atau pejabat tinggi, melainkan seorang advokat yang berjuang dari bawah, bahkan pernah tidur beralaskan koran saat merintis karier sebagai petugas keamanan (satpam).

Dampak Putusan: 4.351 Polisi Bakal Kembali ke Markas

Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dan 128/PUU-XXIII/2025 menciptakan kegemparan di lingkungan birokrasi. Inti dari putusan tersebut adalah larangan bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil, kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Konsekuensinya, sekitar 4.351 personel polisi aktif yang saat ini tersebar di kementerian, lembaga negara non-kementerian, dan BUMN harus melepaskan jabatan sipil mereka. Mereka yang sebelumnya menjabat sebagai staf ahli, deputi, hingga komisaris, kini dihadapkan pada masa transisi untuk kembali ke institusi asal.

Syamsul: Pena Lebih Tajam dari Senjata

Syamsul Jahidin dikenal berani menggugat norma yang selama ini dianggap status quo. Ia melihat adanya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum ketika personel aktif Polri menempati kursi-kursi strategis di birokrasi sipil, yang seharusnya menjadi ranah Aparatur Sipil Negara (ASN).

Keputusan MK ini secara implisit menampar wajah sistem yang dituding memelihara ‘seragam ganda’—di mana tugas utama kepolisian bisa diselipkan di antara tunjangan dan pengaruh jabatan sipil.

“Kisah ini mengandung aroma konspirasi filosofis. Sebab selama ini, siapa berani menegur polisi yang duduk di jabatan sipil? Orang-orang takut, karena seragam itu punya aura sakral. Tapi Syamsul Jahidin datang dengan surat gugatan, bukan pentungan. Dengan pena, bukan pistol,” demikian narasi yang beredar di kalangan masyarakat.

Masa Transisi dan Pesan Keseimbangan

MK memberikan waktu dua tahun sebagai masa transisi agar instansi terkait dapat berbenah. Masa ini diibaratkan sebagai proses ‘detoksifikasi dari candu jabatan’ untuk mencapai keseimbangan yang dibutuhkan negara.

Keputusan ini menegaskan kembali pesan konstitusi bahwa negara bukan tempat magang multi-role. Tempat terbaik bagi penegak hukum adalah di barisan hukum itu sendiri, memastikan penegakan hukum berjalan tanpa konflik kepentingan.

Syamsul Jahidin, sosok kecil dari Mataram yang pernah berjuang dari nol, kini dikenang sebagai pembaharu. Namanya menggaungkan pesan besar: bahwa keadilan, meski kadang diperjuangkan oleh seseorang tanpa seragam kekuasaan, tetap suci, tetap tajam, dan mampu menegakkan kebenaran.

Penulis: MOCH. IMRON AFANDI, S.H., M.H.Editor: SNF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *